Death To The Idf
Home | Articles | Postings | Weather | Top | Trending | Status
Login
ARABIC: HTML, MD, MP3, TXT | CZECH: HTML, MD, MP3, TXT | DANISH: HTML, MD, MP3, TXT | GERMAN: HTML, MD, MP3, TXT | ENGLISH: HTML, MD, MP3, TXT | SPANISH: HTML, MD, MP3, TXT | PERSIAN: HTML, MD, TXT | FINNISH: HTML, MD, MP3, TXT | FRENCH: HTML, MD, MP3, TXT | HEBREW: HTML, MD, TXT | HINDI: HTML, MD, MP3, TXT | INDONESIAN: HTML, MD, TXT | ICELANDIC: HTML, MD, MP3, TXT | ITALIAN: HTML, MD, MP3, TXT | JAPANESE: HTML, MD, MP3, TXT | DUTCH: HTML, MD, MP3, TXT | POLISH: HTML, MD, MP3, TXT | PORTUGUESE: HTML, MD, MP3, TXT | RUSSIAN: HTML, MD, MP3, TXT | SWEDISH: HTML, MD, MP3, TXT | THAI: HTML, MD, TXT | TURKISH: HTML, MD, MP3, TXT | URDU: HTML, MD, TXT | CHINESE: HTML, MD, MP3, TXT |

“Mati IDF”: Seruan untuk Pembubaran dan Pertanggungjawaban atas Kejahatan di Gaza

Pada hari Sabtu, 28 Juni 2025, duo punk Bob Vylan memimpin sorakan “Mati IDF” selama penampilan mereka di Festival Glastonbury. Sorakan ini menuai kecaman luas dari politisi pro-Israel dan kelompok lobi, yang menyebutnya sebagai hasutan untuk melakukan kekerasan. Namun, interpretasi ini salah memahami maksud dari sorakan tersebut. Esai ini berargumen bahwa sorakan ini harus dipahami sebagai tuntutan yang sah dan mendesak secara moral untuk membubarkan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) sebagai sebuah institusi dan meminta pertanggungjawaban individu yang bertanggung jawab atas kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan tindakan yang mungkin dianggap sebagai genosida, sesuai dengan hukum internasional.

Skala dan Sifat Kekejaman

Skala kehancuran dan hilangnya nyawa di Gaza sejak 7 Oktober 2023 sangat besar. Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan lebih dari 62.000 kematian langsung yang terkonfirmasi, sementara perkiraan yang lebih luas memproyeksikan total korban mendekati 500.000 jika mempertimbangkan kematian tidak langsung akibat kelaparan, runtuhnya sistem kesehatan, dan individu yang tidak terhitung yang mungkin terkubur di bawah puing-puing. Sebuah studi Lancet pada tahun 2024 memproyeksikan hingga 186.000 kematian tidak langsung, dan penelitian Harvard menyoroti 377.000 orang yang hilang. Pernyataan kebijakan Israel yang menyebutkan rencana untuk memindahkan 1,8 juta dari 2,3 juta penduduk Gaza sebelum perang menunjukkan pengurangan populasi yang drastis. Data satelit (Statista, Juni 2025) menunjukkan bahwa 70% bangunan rusak atau hancur, 75% tidak dapat dihuni, dan setengahnya menjadi puing-puing. Penghancuran infrastruktur—termasuk rumah sakit, fasilitas air, dan sistem sanitasi—bersama dengan mutilasi 25.000 individu, banyak di antaranya anak-anak, memenuhi beberapa kriteria di bawah Konvensi Genosida: pembunuhan massal, penyebab kerugian serius, penghancuran kondisi hidup esensial, pencegahan kelahiran melalui keruntuhan lingkungan dan medis, serta pengusiran paksa.

Hasil ini berasal dari kebijakan yang disengaja oleh pemerintah Israel. Perdana Menteri Netanyahu mengawasi operasi militer; Menteri Keuangan Smotrich menghalangi bantuan kemanusiaan; Menteri Pertahanan Gallant memulai pengepungan “hewan manusia”; dan Menteri Luar Negeri Katz mendukung tindakan yang menghancurkan. IDF tidak hanya menjalankan perintah tetapi juga merayakan tindakannya. Penyelidikan oleh Haaretz dan Fathom mengungkapkan unit operasi psikologis IDF yang menyebarkan konten grafis korban Palestina dengan keterangan yang merendahkan melalui saluran tidak resmi. Tindakan ini tidak mencerminkan pelanggaran terisolasi, tetapi budaya sistematis dari impunitas dan kekerasan.

Penafsiran Sorakan: Tuntutan Politik dan Hukum

Sorakan “Mati IDF”, yang diucapkan oleh kerumunan besar di Glastonbury, bukanlah seruan literal untuk kekerasan terhadap tentara individu. Sebaliknya, ini mengungkapkan tuntutan untuk pembubaran sebuah institusi yang secara sistematis terlibat dalam perilaku yang melanggar hukum kemanusiaan internasional. Interpretasi ini sejalan dengan preseden historis, seperti keputusan Sekutu untuk membubarkan Wehrmacht Nazi setelah Perang Dunia II.

Seruan untuk membubarkan militer yang terlibat dalam kekejaman massal bukanlah hal baru. Sorakan ini melambangkan kebutuhan moral dan hukum untuk mengakhiri kapasitas operasional IDF dan meminta pertanggungjawaban individu yang bertanggung jawab atas pelanggaran—termasuk komandan militer, pemimpin politik, dan tentara yang berpartisipasi atau memungkinkan tindakan ilegal. Ini mencerminkan penolakan simbolis dan politik terhadap kekuatan militer yang, dalam bentuknya saat ini, beroperasi di luar batas legalitas dan kemanusiaan.

Konteks Hukum: Pendudukan, Bukan Perang

Pasal 51 Piagam PBB mengizinkan pembelaan diri sebagai respons terhadap serangan bersenjata oleh negara, ketentuan yang tidak berlaku di sini. Gaza tidak diakui oleh Israel atau sebagian besar komunitas internasional sebagai negara berdaulat, dan Hamas dianggap sebagai aktor non-negara. Di bawah hukum internasional, Israel tetap menjadi kekuatan pendudukan di Gaza, terikat oleh Konvensi Jenewa Keempat (1949), yang membatasi penggunaan kekuatan militer terhadap penduduk yang diduduki.

Tindakan militer seperti pengepungan, pemboman, dan penargetan infrastruktur sipil berada di luar ruang lingkup kepolisian yang sah berdasarkan Pasal 27 Konvensi. Skala respons—diperkirakan 500.000 kematian di Gaza dibandingkan dengan 1.200 korban Israel pada 7 Oktober 2023—menunjukkan penggunaan kekuatan yang sangat tidak proporsional dan ilegal. Konteks ini memperkuat klaim bahwa perilaku Israel tidak memenuhi ambang hukum untuk pembelaan diri, melainkan merupakan pendudukan ilegal dan tindakan potensial genosida.

Preseden Historis: Nuremberg dan Tanggung Jawab Individu

Pengadilan Nuremberg menetapkan bahwa mematuhi perintah tidak membebaskan individu dari tanggung jawab atas kejahatan perang atau genosida. Piagam London dan Prinsip Nuremberg IV menegaskan kewajiban untuk menolak perintah ilegal. Prinsip-prinsip ini mendukung kode militer secara global, termasuk ker26. kerangka etis IDF sendiri, yang mengharuskan tentara untuk menolak perintah yang melanggar hukum.

Dokumen yang disebarkan oleh pengacara internasional Itay Epshtain menunjukkan bahwa anggota parlemen Israel memerintahkan penghancuran infrastruktur sipil dan penolakan kebutuhan pokok, arahan yang jelas-jelas ilegal. Pelaksanaan kebijakan tersebut oleh IDF—bersama dengan pameran dan retorika perayaan di media sosial—menunjukkan partisipasi yang disengaja dan sadar. Tindakan ini mencerminkan jenis pelanggaran yang dituntut setelah Perang Dunia II dan menggarisbawahi perlunya pertanggungjawaban individu.

Imperatif Moral untuk Pembubaran

Meskipun ada tindakan sementara yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional pada Januari 2024 dan penyelidikan yang sedang berlangsung oleh Mahkamah Pidana Internasional, mekanisme internasional sejauh ini gagal mencegah penderitaan massal. Jumlah kematian yang diperkirakan dan kehancuran di Gaza menuntut tindakan tegas: pembubaran IDF dalam bentuknya saat ini dan penuntutan individu di semua tingkatan yang telah melakukan atau memungkinkan kejahatan.

Ini bukan seruan untuk balas dendam, tetapi untuk keadilan. Pembubaran institusi yang memfasilitasi kejahatan perang akan menegakkan tatanan hukum internasional dan mencegah kekejaman di masa depan. Budaya internal IDF—seperti yang dibuktikan oleh perayaan publik atas kehancuran—menggarisbawahi urgensi pembubaran institusional dan rekonstruksi di bawah norma hukum dan etika.

Menangani Kemunafikan dalam Standar Retoris

Menggambarkan sorakan Glastonbury sebagai hasutan, sambil mentolerir ujaran kebencian yang jauh lebih eksplisit dari pejabat dan warga Israel, mengungkap standar ganda. Sejak setidaknya tahun 2021, selama pawai Hari Yerusalem, massa termasuk tokoh pemerintah seperti Itamar Ben Gvir telah meneriakkan “Mati untuk Arab”, sebuah slogan yang disertai dengan serangan fisik terhadap warga Palestina. Ekspresi kebencian etnis ini sebagian besar dinormalisasi dalam wacana publik Israel.

Sebaliknya, sorakan Glastonbury menargetkan institusi militer, bukan kelompok etnis atau agama, dan menyerukan pembubarannya karena keterlibatannya dalam kekejaman massal. Menyamakan ini dengan hasutan untuk kekerasan berarti salah merepresentasikan konten dan maksudnya sambil mengabaikan retorika yang lebih terbuka dan berbahaya yang ditoleransi di tempat lain.

Mengantisipasi Kontraargumen

Beberapa orang mungkin berargumen bahwa tindakan Israel adalah respons defensif terhadap serangan Hamas. Namun, di bawah hukum internasional, kekuatan pendudukan tidak berhak untuk mengklaim pembelaan diri dengan cara yang sama seperti negara berdaulat. Dampak yang tidak proporsional, penargetan warga sipil, dan perayaan kekerasan yang terdokumentasi membatalkan klaim pembelaan yang sah.

Orang lain mungkin memperingatkan tentang ketidakstabilan politik yang diakibatkan oleh pembubaran IDF. Namun, sejarah menunjukkan bahwa mentolerir impunitas menyebabkan ketidakstabilan yang lebih dalam dan kekejaman lebih lanjut. Seperti halnya respons tertunda Sekutu terhadap Holocaust, ketidakberdayaan di hadapan genosida menjadi kegagalan moral dan historis.

Kesimpulan

Peristiwa di Gaza mewakili salah satu krisis kemanusiaan dan hukum paling parah di abad ke-21. Dengan perkiraan 500.000 kematian, operasi IDF—disahkan oleh pemimpin seperti Netanyahu, Smotrich, Gallant, dan Katz—telah melampaui ambang kekejaman sistematis. Sorakan “Mati IDF” harus dipahami bukan sebagai seruan untuk kekerasan, tetapi sebagai tuntutan politik dan hukum untuk membubarkan institusi militer yang terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.

Komunitas internasional harus bertindak tegas: membubarkan IDF dalam bentuknya saat ini dan meminta pertanggungjawaban semua individu, dari komandan hingga pemimpin politik, dengan tanggung jawab yang dapat dibuktikan atas kejahatan ini. Dengan demikian, ini akan menegaskan kembali prinsip bahwa tidak ada kekuatan militer yang dapat bertindak tanpa hukuman dan akan menjaga warisan Nuremberg, di mana keadilan menang bukan melalui diam, tetapi melalui pertanggungjawaban.

Impressions: 105